Tuntutan hukuman 11 tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan pemerasan dan TPPU menjadi pertaruhan terbesar dalam karier dan kehidupan Nikita Mirzani. Di balik perjuangannya membantah telah menyuruh asistennya, Mail, meminta uang Rp 5 miliar kepada Reza Gladys, terselip upaya keras untuk menyelamatkan reputasi dan yang paling utama, kebebasannya.
Nikita menyadari betul bahwa tuduhan pemerasan—terlebih dengan nominal fantastis dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang—memberikan stigma negatif yang jauh lebih parah daripada kontroversi yang biasa ia hadapi. Tuntutan 11 tahun ini tidak hanya mengancam masa depannya, tetapi juga memengaruhi statusnya sebagai figur publik dan ibu dari anak-anaknya.
Dalam setiap kesempatan di persidangan, Nikita secara konsisten menggunakan nada tinggi dan argumen yang tegas untuk mematahkan narasi JPU. Bantahan bahwa ia tidak pernah memberikan perintah spesifik terkait nominal Rp 5 miliar adalah upaya untuk menunjukkan bahwa ia bukan pelaku kriminal terencana. Sebaliknya, ia mencoba menampilkan dirinya sebagai korban dari interpretasi hukum yang keliru dan sengketa bisnis yang dibesar-besarkan menjadi kasus pidana.
Perjuangan ini bukan hanya soal memenangkan kasus hukum, tetapi juga memenangkan kembali opini publik. Dengan mengajukan gugatan balik Rp 244 miliar dan secara blak-blakan membantah JPU, Nikita mencoba mengambil alih kontrol narasi. Ia harus meyakinkan majelis hakim bahwa uang yang dipermasalahkan adalah bagian dari kesepakatan kompensasi yang tidak sempurna, bukan hasil pemerasan. Kemenangan dalam kasus ini akan menjadi penentu apakah ia dapat kembali beraktivitas dengan bersih atau harus membayar mahal demi tuduhan yang ia klaim sebagai “karangan cerita”.










